ANCAMAN TERSEMBUNYI MAFIA IMPOR TEKSTIL YANG MENGGEROGOTI INDUSTRI INDONESIA

MAFIA IMPOR TEKSTIL

Di tengah gejolak ekonomi nasional, industri tekstil Indonesia sedang menghadapi badai besar. Bayangkan, ratusan ribu pekerja kehilangan mata pencaharian mereka dalam hitungan bulan, pabrik-pabrik tutup, dan kontribusi sektor ini terhadap PDB menyusut drastis. Apa penyebabnya?

Dugaan adanya "mafia impor tekstil" yang mengendalikan kuota impor, membuat industri lokal kalah saing dengan banjir barang murah dari luar negeri. Praktik ini mempercepat deindustrialisasi di Tanah Air.

DUGAAN MAFIA DI BALIK KUOTA IMPOR

Cerita ini bermula dari alokasi kuota impor yang tidak adil. Menurut asosiasi pengusaha seperti KAHMI Rayon Tekstil dan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), kuota impor tekstil hanya dikuasai oleh sekitar 14 perusahaan API-P yang dimiliki oleh empat orang saja. Akibatnya, kebutuhan bahan baku industri lokal hanya terpenuhi sekitar 30%, sementara impor dumping dari China terus membanjiri pasar. Lebih parah lagi, pada Juni 2025, Kementerian Perdagangan menolak usulan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sebesar 5,12%-42,3% untuk benang filamen dari China. Penolakan ini dianggap sebagai bukti perlindungan terhadap impor ilegal, yang semakin memperkuat tudingan adanya mafia di balik layar.

Pengusaha lokal menilai, mafia ini tidak hanya mengendalikan kuota tapi juga menghambat daya saing industri hulu. Bayangkan, produsen seperti Merak Chemicals Indonesia siap memenuhi kebutuhan nasional jika impor dumping ditekan. Namun, tanpa regulasi ketat, mimpi itu sulit terwujud. Isu ini bukan sekadar gosip; ia mencerminkan masalah struktural yang telah lama menggerogoti sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia.

DEINDUSTRIALISASI YANG MENGKHAWATIRKAN

Efek domino dari mafia impor tekstil ini terasa nyata di perekonomian. Kontribusi sektor TPT terhadap PDB nasional turun dari 1,16% pada 2016 menjadi hanya 0,99% pada 2024. Neraca perdagangan TPT juga defisit parah, menyusut dari US$3,6 miliar pada 2016 menjadi US$2,4 miliar pada 2024, dengan defisit volume mencapai 57.000 ton sejak 2017. Impor benang melonjak dari 230.000 ton pada 2016 menjadi 462.000 ton pada 2024, sementara impor kain naik dari 724.000 ton menjadi 939.000 ton.

Data ini bukan angka kosong; ia mencerminkan hilangnya peluang ekspor karena pertumbuhan impor yang lebih cepat. Industri Kecil Menengah (IKM) paling terpukul, terutama dengan maraknya impor pakaian bekas ilegal (balpres). Baru-baru ini, Kementerian Perdagangan bersama BIN dan Bais TNI mengungkap impor balpres senilai Rp112,35 miliar di 11 gudang di Bandung Raya. Barang murah ini membuat produk lokal tak bisa bersaing, mempercepat penutupan pabrik.

Untuk lebih jelas, berikut ringkasan indikator ekonomi utama:
  • Impor Benang: Dari 230.000 ton (2016) menjadi 462.000 ton (2024)
  • Impor Kain: Dari 724.000 ton (2016) menjadi 939.000 ton (2024)
  • Kontribusi TPT ke PDB: 1,16% (2016) turun ke 0,99% (2024)
  • Neraca Perdagangan TPT: US$3,6 miliar (2016) menjadi US$2,4 miliar (2024)

PHK MASSAL DAN KRISIS LAPANGAN KERJA

Dari sisi sosial, cerita ini semakin menyedihkan. Antara 2023-2024, sekitar 60 pabrik TPT tutup, menyebabkan 250.000 pekerja kehilangan pekerjaan. Ditambah pemotongan tenaga kerja hingga 400.000 orang hingga Agustus 2025, terutama di sektor tekstil dan alas kaki. Bayangkan dampaknya terhadap keluarga-keluarga di Jawa Barat dan Jawa Tengah, pusat industri tekstil. PHK massal ini bukan hanya angka statistik, tapi cerita pilu tentang mimpi yang hancur dan kemiskinan yang bertambah.

RESPONS PEMERINTAH DAN TUNTUTAN PENGUSAHA

Pengusaha mendesak pemerintah mengusut mafia impor tekstil untuk menghentikan deindustrialisasi. Mereka menuntut penerapan BMAD 20% pada benang filamen impor guna melindungi industri hulu. Sayangnya, Kementerian Perindustrian menolak usulan BMAD, yang semakin memperkuat dugaan mafia. Upaya konfirmasi dari media seperti Tempo kepada Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief pun belum membuahkan hasil.

Di sisi lain, pemerintah menunjukkan langkah positif dengan mengungkap impor ilegal senilai Rp112,35 miliar. Namun, ini baru permukaan. Dibutuhkan kebijakan holistik: keseimbangan antara perlindungan domestik dan akses bahan baku kompetitif.

SAATNYA BERTINDAK UNTUK MASA DEPAN INDUSTRI

Mafia impor tekstil bukan isu sepele; ia mengancam fondasi ekonomi Indonesia. Dengan PHK massal dan penurunan daya saing, kita harus mendesak transparansi dan regulasi ketat. Pemerintah, pengusaha, dan masyarakat perlu bersatu menghentikan deindustrialisasi ini. Jika tidak, sektor TPT yang pernah menjadi andalan ekspor bisa hilang selamanya. Mari dukung industri lokal – karena masa depan kita tergantung padanya.

*) Informasi dalam artikel dihimpun dari berbagai media bisnis dan ekonomi

Yedija Prima

seorang yang melayani Tuhan karena kehendak-Nya & karena Ia telah mati baginya

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak