Perang tarif kembali menjadi sorotan dunia sejak Presiden Donald Trump—yang kini menjabat kembali di Gedung Putih—mengguncang perekonomian global lewat gebrakan kebijakan dagangnya. Bukan hanya Amerika yang dibuat sibuk; negara-negara mitra dagang pun kini tengah berpacu dengan waktu untuk menghindari badai tarif yang disebut-sebut sebagai “Liberation Day 2.0”.
Pada April 2025, Trump secara resmi menetapkan tarif universal sebesar 10% untuk hampir semua barang impor yang masuk ke Amerika Serikat. Kebijakan ini diterapkan lewat kekuasaan eksekutif berdasarkan IEEPA (Undang-Undang Kekuasaan Darurat Ekonomi Internasional). Tidak berhenti di situ, beberapa negara bahkan dikenai tarif tambahan hingga 50% untuk barang-barang seperti kendaraan, baja, tekstil, dan alat elektronik.
Langkah ini dianggap sebagai bagian dari visi Trump untuk “mengembalikan pekerjaan dan produksi ke tanah Amerika.” Namun seperti kebanyakan kebijakan proteksionis, dunia tidak tinggal diam.
Mengapa Dunia Terguncang?
Satu kata: dampaknya besar. Tarif Trump menyebabkan ketegangan dagang global, gangguan rantai pasokan, dan lonjakan harga di berbagai sektor. Negara-negara besar seperti Cina, Jerman, Jepang, dan bahkan sekutu tradisional seperti Inggris dan Kanada pun terjebak dalam negosiasi intensif untuk menghindari dampak buruk kebijakan ini. Media sosial pun penuh dengan tagar seperti #TariffWarReturns, #LiberationDay2025, dan #TrumpEconomics yang viral di TikTok dan X (Twitter). Banyak konten viral menunjukkan harga-harga produk melonjak di toko-toko AS, hingga meme lucu tentang rakyat yang “kembali merakit mobil sendiri” demi menghindari harga mobil impor yang meroket.
Negara-negara yang Terkena Dampak?
Cina kembali menjadi sasaran utama. Namun kabar baiknya, pada 26 Juni 2025, Trump dan pemimpin Cina menandatangani truce dagang sementara yang mencakup pengurangan tarif dan pembukaan kembali ekspor tanah jarang ke AS.
Uni Eropa masih dalam tahap negosiasi. Jika tidak ada kesepakatan hingga 9 Juli 2025, maka tarif besar akan diberlakukan pada mobil, baja, dan produk agrikultur Eropa. Jerman mendorong kesepakatan cepat, sementara Prancis bersikap lebih hati-hati.
Inggris mengalami pukulan telak di sektor otomotif. Produksi mobil menurun tajam—bahkan disebut-sebut sebagai yang terendah dalam 76 tahun terakhir!
Jepang dan Korea Selatan juga terkena imbasnya, terutama dalam ekspor elektronik dan otomotif. Beberapa pabrikan besar bahkan mempertimbangkan membangun pabrik di AS untuk menghindari beban tarif.
Dampaknya bagi Ekonomi Global
Kebijakan ini menciptakan efek domino di berbagai negara. Ekspor terganggu, biaya logistik meningkat, dan konsumen terpaksa membayar lebih mahal. Bahkan di dalam negeri sendiri, AS mencatat kontraksi ekonomi sebesar –0,5% pada kuartal pertama 2025, sementara inflasi mulai merangkak naik akibat lonjakan harga barang impor.
Sementara itu, dunia usaha mengeluhkan sistem tarif “bertumpuk”—seperti pada ransel, pakaian anak, dan perangkat teknologi—yang dalam beberapa kasus dikenai bea masuk hingga 70% lebih!
Bagaimana Respon Dunia?
Respons global terbagi dua: menolak keras atau segera bernegosiasi. Negara-negara seperti Inggris dan Cina memilih jalur diplomasi cepat. Sebaliknya, beberapa negara Eropa masih mencoba menekan AS melalui WTO dan ancaman tarif balasan.
Menariknya, beberapa perusahaan multinasional mencoba strategi baru: membangun pabrik di dalam negeri AS. Audi, misalnya, mempertimbangkan investasi besar di Amerika untuk menghindari tarif dan menjaga daya saing produknya.
Bagaimana Dampaknya bagi Indonesia?
Meski bukan target langsung, Indonesia bisa ikut terkena imbas dari perang tarif ini. Jika permintaan global menurun karena ketegangan dagang, ekspor Indonesia ke AS atau negara mitra lainnya bisa ikut melambat. Sektor tekstil, elektronik, dan komponen otomotif sangat mungkin terdampak, terutama jika terjadi perlambatan perdagangan global. Namun, di sisi lain, jika negara-negara mengalihkan rantai pasok dari Cina ke Asia Tenggara, Indonesia punya peluang besar untuk jadi alternatif manufaktur. Kuncinya ada di respons cepat pemerintah dan pelaku usaha.
Menanti 9 Juli 2025: Tenggat Penentu
Tanggal 9 Juli 2025 menjadi hari penentuan. Jika negara-negara tidak mencapai kesepakatan dengan AS, maka gelombang tarif tambahan akan diberlakukan. Ini bisa memicu resesi ringan di beberapa wilayah dan mengubah peta dagang global. Dunia sedang menahan napas menunggu apakah Trump akan melunak, atau justru menggandakan tekanannya demi slogan “Make America Great Again – Again”.
Perang tarif Presiden Trump bukan sekadar isu ekonomi; ini adalah gambaran nyata bagaimana kebijakan politik bisa mengguncang pasar global, memicu debat panas di media sosial, dan mengubah strategi bisnis di seluruh dunia. Suka atau tidak, dunia harus bersiap menghadapi ketidakpastian baru di tengah era ekonomi pasca-pandemi.
Apakah ini langkah berani yang tepat, atau justru bumerang bagi perekonomian dunia? Hanya waktu yang bisa menjawab.